BELIS DAN PEREMPUAN SUMBA (kajian terhadap adat perkawinan di lamboya)


               
BELIS DAN PEREMPUAN SUMBA
KAJIAN TERHADAP ADAT PERKAWINAN DI LAMBOYA


Disusun oleh:
VIDELIS RINTO BARO KALEKA

Yayasan Pendidikan Sinar Buana Weetebula
tahun ajaran 2019/2020

Kata pengantar

Puji serta syukur penulis haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan anugerah-Nya karya tulis ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang di tentukan.
Karya tulis yang berjudul belis dan perempuan Sumba (kajian terhadap adat perkawian di lamboya) ini, merupakan salah satu karya sekaligus sebagai tugas akhir pendidikan di SMAS Seminari Sinar Buana Weetebula. Karya tulis ini ditulis dengan tujuan mengenalkan salah satu budaya dan tradisi yang berkembang di Negara Indonesia khususnya pada masyarakat Sumba kepada para pembaca, sekaligus untuk mengedukasi masyarakat tentang bagaimana memaknai belis atau mahar dan juga tentang konsep kesetaraan gender dalam pandangan adat sumba. Sehubungan dengan ini, karya tulis ini dikemas sedemikian rupa sehingga sehingga selain berguna sebagai media Informasi, diharapkan dapat dijadikan panduan untuk bagi siswa untuk menulis sebuah karya. Dengan diselesaikan karya tulis ini, penulis patut menyampaikan rasa syukur dan terimakasih atas bantuan dan dukungan dari berbagai pihak yang terus memberikan semangat dan motivasi bagi penulis untuk dapat menyelesaikan karya tulis ini. Rasa terimakasih penulis sampaikan kepada:
1.      Rm. Yustinus Guru Kedi, Pr selaku kepala sekolah SMAS Seminari Sinar Buana Weetebula
2.      Kedua orang tua yang terus memberikan semangat dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan karya tulis ini
3.      Kepada dewan Pembina dan para guru di Seminari Sinar Buana yang telah banyak membantu dengan memberikan banyak pengetahuan kepada penulis secara khusus kepada guru bahasa Indonesia yang memberikan banyak materi tentang kepenulisan
4.      Rasa terimakasih juga saya ucapkan kepada Rm. Tarsisius Ndate, Pr selaku prefek SMA Seminari Sinar Buana yang selama ini telah banyak membantu penulis dalam kegiatam menulis di asrama
5.      Terimakasih juga saya ucapkan kepada bapak Hieronimus Ara Rate, S.Pd yang telah membantu penulis dalam hal sumber kepustakaan dan metode penulisan.
6.      Terimakasih yang berlimpah saya ucapkan kepada para narasumber atau informan yang telah membantu penulis dengan informasi yang sangat bermanfaat. Tanpa kalian penulis tidak dapat menyelesaikan tulisan ini.
7.      Dan ucapan terimakasih kepada rekan- rekan pelajar di Seminari Sinar Buana yang telah memberikan banyak dukungan dan semangat kepada penulis.
8.      Ucapan terimakasih juga penulis ucapkan kepada relawan peduli covid-19, yang selama ini banyak membantu dalam beberapa kesempatan bertukar pikiran.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari sempurna. Ada begitu banyak hal yang menjadi kekurangan, kurang pengalaman, kurang keterampilan dan kurang pengetahuan. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat diharapka sebagai masukan yang berharga demi penyempurnaan tulisan ini. Semoga karya tulis ini bermanfat bagi pembaca sekalian untuk menanamkan nilai-nilai budaya dalam kehidupan demi kelestarian budaya.
                                                                                                     





BAB
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki beragam kekayaan salah satunya adalah budaya. Budaya Indonesia yang beragam dan unik ternyata mampu menarik perhatian dunia, sehingga Indonesia menjadi salah sau Negara wisata budaya.
Salah satu kebudayaan inonesia yang sangat esensial adalah adat pernikahan. Meskipun saat ini, banyak pasangan muda yang lebih memilih meniadakan pernikahan adat dengan hanya pernikahan sipil dan agama saja, tetapi tidak jarang juga yang masih melestarikan budaya ini. Salah satunya adalah di Sumba. Masyarakat Sumba masih memegang teguh tradisi dan budaya yang diwariskan oleh leluhur termasuk adat perkawinan. Salah satu bagian dari adat perkawinan yang paling banyak disoroti adalah pemberian belis atau mahar. Hal ini dikarenakan tuntutan belis yang harus berupa hewan ternak, parang dan tombak serta perhiasan lainnya seprti mamuli dan gading.  Mahalnya pemberian belis ini ternyaa menimbulkan kontroversi dalam masyarakat. Banyak masyaraka yang menilai sisem pembelisan di Sumba sebagai bentuk pemborosan dan ransaksi jual-beli.
Di balik mahalnya belisdi Sumba, ternyata ada makna luhur yang terkandung di dalamnya. Ketidakpahaman masyarakat terhadap makna luhur inilah yang menyebabkan kontroversi dan kesalahan dalam menginterpretasi. Masalahnya adalah pergeseran makna ini ternyata membawa dampak terhadap cara pandang masyarakat terhadap perempuan dan juga dalam kehidupan sosial. Maka sangat Nampak disini bahwa kesetaraan gender masih menjadi permasalahan yang perlu terus diperjuangkan. Dalam buku mozaik Sumba barat, S Indah lestari dengan sangat jelas menggambarkan betapa susahnya dunia wanita dan anak-anak. Dalam buku ini Nampak bahwa wanita Sumba hanya menjadi nomor dua dalam kehidupan keluarga dan sosial.
Melalui tulisan ini, penulis berusaha mengkaji tentang keluhuran budaya sumba (lamboya) secara khusus tentang makna luhur dibalik belis serta bagaimana adat sumba memandang wanita.
B.     Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang dapat di ambil sebagai berikut:
1.      Apa yang dimaksud dengan mahar atau belis?
2.      Bagaimana proses perkawinan adat di Sumba?
3.      Bagaimana prinsip perkawinan adat di Sumba?
4.      Apa makna belis dalam perkawinan adat sumba?
5.      Apa dampak pembelisan dalam kehidupan masyarakat di sumba?
6.      Bagaimana adat Sumba memandang perempuan?
7.      Bagaimana perkembangan adat perkawinan di Sumba dari waktu ke waktu?
8.      Bagaimana cara merevitalisasi makna belis dalam perkawinan adat sumba?






C.     Tujuan penelitian
Karya tulis ini bertujuan mengangkat tradisi perkawinan adat Sumba melalui kajian terhadap adat perkawinan di lamboya, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.      Melatih keterampilan menulis bagi penulis/peneliti
2.      Melatih keterampilan mencari dan mengumpulkan data di lapanagan
3.      Mengasah teknik dan kemampuan mengadakan wawancara dengan narasumberuntuk memperoleh data yang akurat.
4.      Memperoleh pengalaman langsung di lapanagn
5.      Dapat mengetahui dan mempelajari lebuih dalam tentang hal-hal yang berkaitan dengan budaya dan tradisi belis dalam adat perkawinan di sumba khususnya di lamboya
6.       Untuk memenuhi tugas akhir pendidikan di SMAS Seminari Sinar Buana Weetebula.













BAB 2
PEMBAHASAN

A.      Defenisi belis atau mahar
Menurut kamus basar bahasa Indonesia (KBBI), mahar merupakan pemberian wajib berupamuang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan pernikahan.
Menurut W J S poewardaminta, mahar adalah pemberian dari mempelai laki-laki kepada pengantin perempuan. Berdasarkan dasar hukum, mahar adalah pemberian pria kepada wanita sebagai pemberian wajib untuk memperkuat hubungan dan menumbuhkan tali kasih sayang antara kedua suami istri
B.       Proses perkawinan adat di sumba
Seperti halnya pendidikan, adat perkawinan di Sumba juga mengalami beberapa proses yang di sebut nauta (bahasa lamboya = tangga). Secara keseluruhan, adat perkawinan di Sumba terdiri atas empat tangga atau nauta.
A.    Nauta pertama
Sebelum masuk pada nauta pertama atau “ panen gayi nauta ”, tentunya pihak pria harus melamar atau dalam istilahnya range hataki. Dalam tahap ini, biasanya pelamar atau pihak pria menemui orang tua gadis yang dilamar denga membawa siri pinang dan juga biasanya membawa gula dan kopi. Hal ini menunjukkan ia datang sebagai tamu dan adanya keinginan untuk melamar. Proses ini sangat menentukan berlangsungnya perkawinan adat, karena dalam proses ini, orang tua gadis akan memberikan pendapat dan komentar apakah proses bisa dilanjutkan ke nautan yyang pertama atau tidak. Apabila orang tua gadis menyatakan proses dilanjutkan maka mereka akan meminta sang pelamar untuk membawa serta dengan orang tua pada saat masuk pada nauta yang pertama.
Pada nauta yang pertama, ada beberapa tahapan yang harus dilalui.
1)      Ngidi ro kutta (bahasa lamboya = bawa siri pinang )
Pada tahap ini, pelamar datang bersama dengan orang tua untuk memenuhi pangilan dari orang tua gadis pada saat range hatakki. Pada tahap ini pihak pria datang dengan membawa siri pinang yang masih bertangkai. Hal ini menggambarkan harapan dan keinginan untuk membangun sebuah keluarga atau hubungan yang bersatu atau berangkai, atau dalam istilah adatnya kanna ha kuk limma takked, iana gela na gak iana toro na dhaida (supaya seperti kuku kucing dan tangan tokek, supaya jangan lenting). Di sini jelas bahwa keinginan yuang kuat akan persatuan yang tidak terceraikan. Siri pinang yang di bawa melambangkan keramahtamahan, sapaan, dan keinginan untuk mencari pendapat antara orang tua. Selain menyiapkan siri pinang, pihak pria juga harus menyiapkan seekor anjing (bagha), tombak (nabbu), dan tentunya ranga atau hewan berupa kerbau dan kuda.
Pada tahap ini juga pihak wanita harus menyiapkan kain dan sarung, serta seekor babi betina. Pada prinsipnya babi yang disiapkan haruslah seekor anak babi, atauy dalam ukuran yang sering digunakan dalam masyarakat, anak babi betina yang dipikul dua orang. Anak babi betina ini menggambarkan keinginan atau harapan pihak wanita untuk tetap berkembang. Namun, realita menunjukkan banyak orang melanggar aturan ini, akibat gengsi sehingga babi yang disiapkan lebih besar dari yang ditetapkan.
Pada tahap ini, keluarga bertukar pikiran atau berdiskusi tentang kelanjutan hubungan dan keluarga perempuan akan menentukan jumlah belis pada tahap selanjutnya, tetapi tetap akan didiskusikan bersama sehingga memperoleh kesepakatan untuk lanjut pada tahap selanjutnya.

2)      Ngidi ranga panne
Setelah ngidi ro kutta, tahap selanjutnya adalah ngidi ranga panne. Tahap ini adalah kelanjutan dari ngidui ro kutta atau bawa sirih pinang. Pada tahap ini keluarga pria datang untuk membawa belis yang sudah ditentukan pada saat ngidi ro kutta. Pda tahap ini, masih sama pihak pria menyiapkan seekor anjing atau bagha, nabbu, dan tentunya belis atau ranga. Ngiddi ranga panne sendiri artinya pria atau pelamar diijinkan masuk rumah atau istilahnya naik (panne). Pada tahap ini pria boleh tinggal dirumah untuk bersatu dengan pasangannya, tetapi hubungannya belum dinyatakan sah secara adat.
Pada tahap ini juga kedua mempelai disatukan atau istilahnya habolana (bahasa lamboya = digabungkan). Sehingga pada bagian ini secara resmi kedua mempelai disatukan penyatuan ini dikukuhkan dengan menyelempangkan kain pada pria dan sarung pada wanita oleh loka (saudara laki-laki ibu) dari wanita. Penyelempangan ini harus di bahu bagian kanan pada keduanya, hal ini melambangkan penyerahan tanggung jawab keluarga yang akan mereka tempuh bersama.penyelempangan ini dilakukan oleh loka atau paman, karena loka merupakan sumber berkat atau dengan kata lain bahwa keluarga lokalah yang telah mendatangkan berkat kepada keluarga wanita, sehingga keluarga pria datang memohon berkat. Sebelum kedua mempelai di satukan, keduanya akan mengikrarkan janji untuk saling mencintai dan tetap menjadi suami istri dalam keadaan apapun. Janji ini dikukuhkan dengan sebuah parang atau katopo dari pria dan selembar kain dari wanita.
Seperti halnya pada saat ngidi ro kutta, pada tahap ini juga kedua belah pihak akan berdiskusi tentang rencana selanjutnya termasuk jumlah belis yang harus dibawa lagi pada tahap selanjutnya. Pada tahap ini juga, sama seperti pada tahap sebelumnya, keluarga harus menyiapkan kain dan sarung serta seekor babi, tetapi tidak harus babi betina seperti saat ngidi ro kutta.

B.     Nauta kedua
Setelah nauta pertama, proses perkawinan adat akan masuk pada nauta yang kedua. Pada nauta ini, proses akan masuk pada tahap yang dinamakan katge (ikat). Proses ini merupakan proses pengukuhan hubungan yang telah disatukan dengan cara diikat secara adat. Pada proses ini, keluarga pria harus menyiapkan mamuli, teko (bahasa lamboya = kalewang). Pemberian mamuli ini berarti bahwa berkat yang telah dibawa peroleh dari keluarga wanita akan diberi mamuli sebagai persembahan dan juga persembahan atas jerih payah dari ibu yang telah megandung dan melahirkan mempelai wanita. Proses pengikatan perkawinan ini dilakukan dengan pengulangan pengikraran janji nikah oleh kedua mempelai, pemotongan anjing, pemberian mamuli, parang dan teko dari pihak pria, dan pemberian kain, sarung dan pemotongan babi dari pihak wanita.
C.     Nauta ketiga
Nauta ini merupakan tahap pengesahan secara resmi oleh adat. Hubungan yang telah disatukan dan dikukuhkan atau diikat, akan disahkan pada tahap ini. pengesahan hubungan ini akan berlanjut pada pindahnya mempelai wanita pada rumah mempelai pria. Sebelum pindah, proses pengesahan dilakukan dengan pemotongan bagha atau anjing serta pemberian selendang yang digulung melingkar oleh pihak pria pada pihak wanita, dan juga pemotongan babi yang diberikan secara utuh kepada pihak pria oleh pihak wanita. Pemberian selendang yang digulung melingkar melambangkan hubungan yang tetap bersatu layaknya cincin pada pernikahan. Babi yang diberikan utuh (kecuali tali perut) melambangkan harapan akan hubungan yang harmonis dan utuh. Semuanya kembali lagi pada prinsip yang pertama, kanna ha kuk limma takked, iana gela na gak iana toro na dhaida. Pemotongan babi dan anjing pada setiap tahap pada hakikatnya merupakan bentuk persembahan pada nukuhara (marapu). Segala proses yang terjadi harus dikembalikan kepada sang pencipta melalui perantaraan para marapu atau nukhara. Konsep pencipta dalam kepercayaan marapu meiliki banyak istilah tanpa nama, diantaranya adalah ai  hatak  tamo ai ha nuwa ngara ( yang tidsdak punya tamo atau nama yang sama dan tidak punya nama), bale ro katil bhakla kerre kabu ( telinga besar dan mata besar atau artinya mendengar dan melihat segala sesuatu ).
Pada proses pemindahan ini, biasanya orang tua mempelai wanita akan menyiapkan kuda tunggang (jara halete) dua ekor untuk kedua mempelai masing-masing satu ekor, dan seekor kerbau betina sebagai pengantar habura higggi ye (bola yang digunakan untuk menyimpan pakainan dalam hal ini kain dan sarung).





C.       Prinsip-prinsip perkawinan adat sumba
Jika kita melihat realita yang terjadi di Sumba, prinsip perkawinan yang terjadi patut menuai kontoversi, hal ini dikarenakan maraknya perkawinan paksa, perkawinan dini, belis yang terlampau tinggi dan perjodohan serta poligami. Namun, apabila kita telusuri secara mendalam, prinsip-prinsip perkawinan adat Sumba sebenarnya sangatlah luhur. Apakah benar perkawinan adat Sumba mengijinkan poligami? Apakah benra belis perempuan Sumba mahal? Apakah benra bahwa wanita Sumba harus kawin pada usia dini?
Pada hakikatnya perkawinan adat Sumba merupakan perkawinan yang penuh pertimbangan dalam hal ini kembali lagi pada prinsip awal kanna ha kuk limma takked, iana gela na gak iana toro na dhaida. Dari prinsip ini, maka pada dasarnya perkawinan adat Sumba sangat mengutamakan cinta sebagai landasan untuk membangun keluarga. Hal inilah yang mendasari sehingga pada saat pengikatan dan penyatuan, mempelai harus mengikrarkan janji nikah.
Sebagaimana prinsipnya perkawinan adat Sumba segagai perkawinan yang penuh pertimbangan, segala sesuatu harus dipertimbangkan melalui diskusi oleh kedua keluarga sehingga memperoleh keputusan atau kesepakatan bersama. Apakah benra belis perempuan Sumba mahal? Sebenarnya pertanyaan ini hanya menjadi sindiran terhadap realita bukan sebagai pertanyaan terhadap adat. Mengapa? Karena pada dasarnya perkawinan adat Sumba adalah perkawinan yang penuh pertimbangan. Maka segala sesuatu termasuk belis, harus melalui proses pertimbangan atau diskusi. Oleh sebab itu, mahal dan tidaknya belis tak dapat ditakar oleh adat tetapi semuanya kembali tergantung dari kesepakatan. Jika realita yang berkermbang menunjukkan bahwa pada umumnya jumlah belis perempuan Sumba terlampau mahal, maka perlu ditinjau dari status sosial keluarga. Pada umumnya yang berkembang dalam masyrakat, status sosial dan pendidikan menentukan jumlah belis tetapi kembali lagi pada prinsipnya, bahwa adat perkawinan Sumba tidak memasang target jumlah belis. Oleh karena itu, mahalmnya belis lebih bergantung pada gengsi sosial bukan karena adatnya.
Prinsip pembelisan dalam adat perkawinan di Sumba, sebenranya memiliki tahapan-tahapan seperti yang telah dijelaskan diatas. Pada setiap tahap, keluarga mempelai akan memimta belis sesuai yang telah disepakati, tetapi belis yang dimaksudkan tidak harus dibayar lunas pada waktu yang di tentukan atau dalam istilahnya lebhora todi (dikerjakan dulu), disini nampak bahwa belis yang belum dilunasi dapat dilunasi setelah membangun kehidupan keluarga dalam artian bahwa mereka diberi kesempatan bekerja terlebih dahulu. Dalam waktu-waktu tertentu seperti saat keluarga mempelai wanita melaksanakan pesta atau acara lainnya, keluarga mempelai pria dapat membawa hewan dan hewan tersebut dihitung sebagai belis. Dalam perhitungannya, belis yang dibawa pada saat ngidi ro kutta akan dihitung pada saat ngidi ranga panne demikian jugga saat katge maupun saat pindah rumah.
Selain pembelisan, salah satu masalah yang sering menjadi kontroversi dalam masyarakat adalah poligami. Poligami dalam perkawinan adat Sumba hanya bisa terjadi karena alasan-alasan tertentu yang memang pada dasarnya harus terpenuhi. Sebagai conto, apabila istri tidak dapat menghasilkan keturunan, maka sang suami dapat menikah lagi atas persetujuan istri, karena mempertimbangkan maksud perkawinan seperti yang dimaksudkan pada saat ngidi ro kutta yakni perkawinan diharapkan menjadi sutu hubungan yang berangkai atau berkembang (makna sirih pinang). Tetapi perkawinan yang kedua hanya boleh terjadi atas persetujuan istri dan juga orang tua istri. Contoh lainnya adalah, apabila keluarga memiliki banyak tanah yang harus digarap, tetapi terbatas tenaga, maka suami dapat menikah lagi tetapi harus atas dasar persetujuan istri dan keluarga apabila hal ini tidak terpenuhi, maka perkawinan tidak sah secara adat. 
Jadi pada prinsipnya, perkawinan adat Sumba adalah perkawinan yang penuh pertimbangan baik secara ekonomi, sosial, maupun perasaan. Dan prinsip utama yang selalu menjadi dasar dari perkawinan adat Sumba adalah keinginan untuk bersatu dan harmonis serta berkembang menjadi keluarga yang besart seperti yang digambarkan dalam istilah adat kanna ha kuk limma takked, iana gela na gak iana toro na dhaida.
D.      Makna belis dalam perkawinan adat di sumba
Mahar atau yang lazim disebut belis, bukanlah sekedar bayaran atau praktek transaksi jual beli. Dibalik persoalan atau kontroversi mengenai belis, ternyata ada makna luhur yang terkandung didalamnya. Pemaknaan belis yang sesungguhnya sesuai adat sebenarnya akan menjawab segala kontroversi yang muncul. Sehingga dapat dikatakan merosotnya nilai budaya dalam adat perkawinan salah satunya disebabkan oleh pemaknaan yang keliru tentang hakikat belis atau mahar itu sendiri. Pada dasarnya belis dalam adat Sumba khusunya di lamboya memiliki makna yang luhur sebagai berikut.
Pertama, belis atau mahar dalam adat perkawinan di Sumba merupakan bentuk penghargaan dan penghormatan terhadap perempuan. Perempuan adalah pencipta sejarah manusia. Dunianya terlampau luas karena mencakup dunia kaum pria dan juga dunia anak keturunan. Oleh karenanya perempuan dapat disejajarkan dengan bumi yang melahirkan berbagai macam jenis kehidupan. Dapat dikatakan, kelangsunga preradaban manusia ada ditangan perempuan. Laki-laki tentunya berperan dalam hal ini, tetapi yang pastinya bahwa laki-laki selalu dan akan selalu dilahirkan dari Rahim perempuan. Atas dasar ini, maka sudah sepantasnya perempuan mendapat penghormatan dan penghargaan. Tradisi belis dengan demikian adalah tradisi penghormatan terhadap perempuan, bukan hanya dari laki-laki, tetapi dari semua manusia, termasuk anak keturunan yang akan dilahirkan perempuan. Dalam adat perkawinan di Sumba, pemberian mamuli merupakan bukti dari penghargaan tersebut, sekaligus pemberian mamuli melambangkan Rahim atau hoba yang melahirkan manusia. Penghormatan dan penghargaan ini juga tidak semata-mata ditujukan pada perempuan yang dilamar, tetapi juga merupakan bentuk penghargaan terhadap seluruh perempuan terlebih khusus ibu yang telah mengandung perempuan yang dilamar. Pemahaman belis sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan memiliki dua konsekuensi. Pertama, belis tidak dapat ditiadakan dari keseluruhan sistem dan upacara pernikahan. Tidak memberikan belis berarti juga tidak menghargai perempuan. Artinya, pihak laki-laki mesti tetap memberikan belis, meski jumlah belis tersebut terbilang sedikit. Karena belis bukan tentang jumlah yang terhitung, tetapi tentang symbol. Kedua, melanjuti yang pertama, penghargaan dan penghormatan terhadap perempuan. Poin penting yang perlu digarisbawahi adalah belis tidak seharusnya melampaui batas kewajaran (entah secara suka rela diberikan pihak laki-laki ataupun berdasarkan permintaan pihak perempuan). Hal ini perlu agar tradisi belis tidak dipandang sebagai sebuah “transaksi jual beli” perempuan.
Kedua, tradisi belis merupakan perlawanan terhadap praktik preduksian perempuan. Melelui tradisi belis, semua orang diingat pada peran peting perempuan. Perempuan bukan barang instrumental tetapi manusia yang bermartabat. Sebagai manuusia yang bermartabat, perempuan sudah sepantasnya dihormati, dihargai dan dijaga. Tradisi belis juga mendukung konsep kesentaraan gender.
Ketiga, dalam adat perkawinan di Sumba khususnya lamboya, belis juga dapat bermakna ucapan trimakasih. Belis, meski merupakan bentuk penghargaan terhadap perempuan, namun dalam praktik, peruntukanya selalu bagi keluarga. Hal ini adalah wajar dengan mempertimbangkan pengorbanan keluarga dalam meendidik dan membesarka anak perempuan mereka. Belis dalam pemaknaan ini tidak semata-mata ditujukan kepada orang tua perempuan, tetapi juga merupakan wujud terimaksih kepada seluruh keluarga termasuk nukuhara (marapu) yang telah melindungi dan menjaga anak perempuan tersebut. Dalam hal ini juga pemberian belis dimaksudkan untuk menghargai keluarga loka (asal dari ibu mempelai perempuan) sebagai sumbar berkat, sehingga dalam proses perkawinan adat, harus selalu melibatkan loka, bahkan lokalah yang berhak untuk memnyatukan kedua mempelai dalam acara habolana. Meski demikian, makna ketiga ini bukan merupakan makna substansial dari belis. Sebab tugas mendidik dan membesarkan, termasuk di dalamnya menyekolahkan, merupakan tanggungjawab yang memang harus dijalankan oleh keluarga.
E.       Dampak pembelisan dalam kehidupan masyarakat di sumba
Pembelisan di Sumba ttentunya membawa banyak dampak terlebih dalam kehidupan sosial. Belis memiliki beragam dampak baik itu dampak positif maupun dampak negatif. Berikut ini beberapa dampak dari pembelisan dalam kehidupan sosial masyarakat.
1.        Dampak-dampak positif
*        Semakin eratnya hubungan kekeluargaan atau kekerabatan
Sebagaimana belis adalah tanda penghormatan kedaperempuan dan juga sebagai tanda terimakasih kepada orang tua, maka deri sini tentu akan terbentuk suatu hubungan kekeluargaan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa belis tidak serta-merta dilunasi pada saat acara pembelisan, tetapi dapat dilunasi dalam waktu-waktu tertentu. Hal ini tentu saja akan membuat komunikasi antara kedua keluarga semakin erat. Maka dalam konteks ini, belis dapat dikatatakan sebagai jembatan komunikasi antara kedua belah pihak.
*        Timbulnya rasa hormat terhadap perempuan dan keluaraga mempelai perempuan
Sebagaimana hakikatnya bahwa belis merupakan bentuk penghormatan dan penghargaan terhadap kaum wanita, maka dalam hal ini apabila makna simbolis ini benar-benar dihayati maka akan menyebabkan timbulnya rasa penghargaan dan hormat terhadap perempuan.
*        Pelajaran tentang makna perjuanagan
Saat ini, belis menjadi satu bagian dari pernikahan adat yang paling esensial sekaligus dikategorikan sebagai suatu proses yang sulit apalagi dalam awal kehidupan keluarga. Kesulitan ini mengajarkan kepada kedua mempelai tentang makna perjuangan dan juga sebagai gambaran awal dari tanggung jawab keluarga yang lebih besar.
*        Berdampak pada peringatan terhadap warisan leluhur. Adat perkawinan dan pembelisan di sumba mengingatkan masyarakat akan karya besar dari para lelujur.
2.        Dampak-dampak negatif
*        Munculnya paham-paham yang keliru tentang perempuan
Seperti yang telah dijelaska  sebelumnya bahwa belis terkadang disalah pahami oleh segelitir masyarakat. Banya orang memandang tradisi belis sebagai praktek transaksi jual beli perempuan. Namun, konsep ini dalam perjalanan waktu semakin tidak Nampak lagi. Kekeliruan konsep ini menyebabkan munculnya banyak masalah seperti kekerasan dalam rumah tangga, dan masih banyak lagi.
*        Menyebabkan kemiskinan
Realita menunjukkan bahwa ditengah kesusahan hidup secara finansial, masyarakat Sumba harus terus berupays untuk memenuhi kebutuhan belis, sebab bagaimanapun bagian ini merupakan bagian yang penting dalam perkawinan adat di Sumba. Meskipun demikian, belis bukanlah akar atau penyebab kemiskinan yang dasariah, sebab pada hakikatnya perkawinan adat Sumba adalah perkawinan yang penuh pertimbangan, sehingga dalam proses wawancara kedua belah pihak dapat menakar belis sesuai keadaan ekonomi.
*        Dijadikan sebagai ajang untuk menunjukan kekuasaan
Dalam praktek pembelisan di Sumba, masyarakat khususnya masyarakat pada golongan menngah keatas, berusaha untuk menunjukkan status sosila mereka. Disini, acara adat pembelisan dijadikan sebagai ajang untuk unjuk diri dan kekuasaan.
F.        Pandangan adat sumba terhadap kaum perempuan
Saat ini, salah satu hal yang masih menjadi eprgumulan serius masyarakat Indonesia, Sumba khususnya adalah isu kesetaraan gender. Di Sumba realita menunjkkan betapa mirisnya kehidupan kaum wanita. Dalam salah sati bagian dari buku mozaik Sumba Barat, Indah Lestari Beding memberikan penjelasan terkait keprihatiana terhadap kehidupan di Sumba secara khusus tentang dunia perempuan. Dalam tulisan ini, ia mengambarkan betapa susahnya hidup seorang wanita, sementara kaum pria hanya menjadi penonton dan pemikir di balik susahnya hidup. Ini menjadi gambaran nyata tentang belum adanya kesetaraan gender di Sumba. Realitas ini sebenarnya hanya gaya hidup masyarakat dan bukan prinsip adat. Adat Sumba tidak sedikitpun membuat perbedaan status antara pria dan wanita. Bahkan jika ditelusuri lebih lanjut, maka dapat ditemukan beberapa rujukan yang malah menempatkan perempuan pada posisi yang jauh lebih terhormat. Berikut beberapa rujukan yang dapat menjelaskan tentang adat Sumba yang menjunjung tinggi derajat perempuan.
a)        Mamuli atau mamoli.
Mamoli atau mamuli merupakan aksesoris sekaligus sebagai harta yang paling berharga dalam masyarakat Sumba. Maoli atau mamuli sendiri adalah gambar kewanitaan atau gambar kebesaran wanita. Hal ini menunjukkan bahwa wanita adalah pengukir sejarah manusia, dimana rahim perempuan yang mampu meghasilkan keturunan, hal ini bukan berarti bahwa lelaki tidak berperan dalam hal berketurunan, tetapi bagaimanapun juga perempuanlah yang melahirkan. Selain itu, mamoli juga dipandang sebagai lambing kesuburan dan berkat. Disini nampak jelas bahwa wanita tidak hanya sebagai manusia tetapi juga dipercaya sebagai pembawa berkat.
b)        Karabuka atau tullura (dapur dan tungku api)
Setiap rumah pasti memiliki dapur, sebab dapur merupakan tempat yang paling esensial dalam kehidupan masyarakat. Demikian juga rumah adat Sumba memiliki dapur atau yang disebut karabuka. Namun, uniknya karabuka atau dapur dalam rumah adat Sumba terletak di tengeh-tengah rumah. Setiap hari, perempuan Sumba beraktivitas di tempat ini. Posisi dapur atau karabuka ini sebenarnya menunjukkan identitas fungsional perempuan Sumba, dimana perempuan Sumba dalam pandangan adat adalah jantung kehidupan keluarga, sebab dari sanalah datangnya makanan dan minuman yang adalah kebutuhan pokok manusia.
c)        Posisi atap rumah
Atap rumah atau bumbung rumah sebenarnya menyimpan makna yang sangat dalam. Posisi atap atau bumbung rumah yang menjulang sama tinggi sebenarnya menunjukkan peran dan fungsi laki-laki dan perempuan yang disetarakan atau dengan kata lain tidak berat sebelah atau seimbang. Sebagaimana bagian kiri melambangkan laki-laki dan perempuan di sebelah kanan.
d)       Posisi saat jalan beriringan
Dalam segala interaksi sosial, masyarakat adat Sumba memiliki etika sosial termasuk etika berjalan. Saat berjalan bersama, entah dalam jumlah besar atau rombongan maupun saat jalan berduaan, etika jalan yang benar adalah perempuan selalu menjadi yang dahulu barulah diikuti oleh laki-laki. Etika jalan ini mencerminkan perempuan yang harus dilindungi kaum pria. Selain itu, etika jalan ini juga menunjukkan bahwa sebenarnya perempuan bukanlah yang nomor dua tetapi menjadi yang pertama. Jadi etika jalan ini menggambarkan tentang derajat perempuan yang harus dilindungi dan di junjunhg tinggi bukan direndahkan.
e)             Penerima tamu dalam acara atau pesta
Sumba dikenal sebagai pulau marapu dengan segala ritual dan pestanya. Pada pesta-pesta seperti pesta ked’de, penguburan orang mati, dan pesta-pesta lainnya, tentunya melibatkan banyak tamu undangan. Pada saat penerimaan tamu, yang menerima tamu terlebih dahulu di natara (tempat penerimaan tamu dalam acara adat) adalah perempuan. Hal ini juga menjadi rujukan yang menunjukkan bahwa peran perempuan selalu mejadi yang pertama. Pada setiap pesta yang diadakan, suatu hal yang hampir tidak diketahui banyak orang adalah bahwa seluruh rangkaian acara diakomodir oleh perempuan. Disini juga Nampak peran perempuan sebagai pengambil keputusan.
f)         Belis
Belis merupakan tanda penghargaan atau persembahan kepada orang tua atau keluarga mempelai perempuan atas berkat yang diperoleh dari mereka. Disini Nampak bahwa orang tua gadis merupakan sumber berkat dan gadis atau perempuan merupakan berkat itu sendiri. Belis menjadi penegas hal ini.
Sekiranya rujukan-rujukan diatas mewakili rujukan-rujukan lainnya yang memberi penegasan dan gambaran tentang pandangan murni adat terhadap kaum perempuan.
G.      Perkembangan perkawinan adat di sumba dari waktu ke waktu
Awal munculnya adat perkawinan di Sumba merupakan sebuah bagian dari sejarah kebudayaan yang tidak dapat dipastikan, karena pada dasarnya adat Sumba pada umumnya mengunakan budaya tutur dalam artian semuanya bergantung pada ragam lisan atau tidak ada pedoman tertulis. Sehinnga, adat Sumba diwariskan secara turun temurun dan terus megalami perkembangan seiring berjalannya waktu. Perkembangan budaya ini selalu mengikuti konteks kekinian meskipun tidak sepenuhnya itu terjadi.
Menurut para penutur adat, pada awal mulanya adat Sumba muncul dari prinsip-prinsip kehidupoan sosial dan religi, meskipun hal ini masih sepenuhnya belum dapat dipastikan secara mendetail berkaitan tentang waktu. Perkembangan praktek budaya dalam konteks adat perkawinan berdasarkan kajian, maka saya akan membagi perkembangan ini dalam tiga masa.
Pertama, masa awal. pada masa ini praktek adat perkawinan termasuk didalamnya mengenai pembelisan masih berpatokan pada makna luhur yang terkandung didsalamnya. Masa ini merupakan masa awal masyarakat adat Sumba khususnya lamboya mengenal budaya dan pembelisan. Karena pada masa ini masyarakat masih berpatokan atau berpegang teguh pada prinsip dan makna perkawinan adat yang sebenarnya, maka dapat disimpulkan bahwa masa ini merupakan masa dimana budaya ini terbentuk dan masih murni dalam prakteknya.
Kedua, masa perubahan. Pada masa ini, adat perkawinan yang telah dipraktekkan pada masa awal mengalami perubaha atau bermutasi akibat waktu dan pola hidup masyarakat. Pada masa ini, masyarakat mulai membuat pemisahan kedudukan atau strata dalam kehidupan sosial. Pada masa ini, mulai muncul pengolongan sosial seperti marabba (bangsawan), rakyat biasa dan ata (budak atau hamba). Pengolongan status sosial ini ternyata mempengaruhi hampir seluruh aspek kehidupan termasuk budaya. Demikian juga adat perkawinan turut berubah karena pengolongan ini. Mirisnya, perubahan ini membuat praktek adat perkawinan menjadi melenceng dari makna yang telah tercipta pada tahap awal. Pada masa ini, mulai adanya perbedaan jumlah atau taraf belis antara golongan dan juga munculnya perjodohan dan kawin paksa. Golongan marabba akan menjodohkan anak mereka dengan orang segolongan. Inilah cikal bakal munculnya tradisi kawin dengan anak loka (anak laki-laki menikah dengan anak perempuan dari saudara laki-laki ibu). Selain perubahan-perubahan yang disebutkan diatas, masih banyak lagi perubahan yang terjadi pada masa ini.
Ketiga, masa pemurnian kembali. Masa ini terjadi pada masa saat ini, dimana masyarakat terjun dalam perkembangan teknologi, dan semakin berpendidikan. Pada masa ini, masyarakat semakin berpendidikan sehingga pola pikir masyarakat tidak lagi seperti yang terjadi pada masa perubahan. Ada banyak perubahan yang terjadi pada masa ini yang berorientasi pada pemurnian kembali, sebagai contoh banyak orang mulai berpikir untuk membatasi jumlah belis, dan masyarakat lebih banyak memahami makna yang terkandung di balik belis tersebut. Meskipun demikian, masa ini tidak menjamin perubahan yang sempurna mengingat prinsip dan dan sarana yang kurang relevan terhadap perkembangan saat ini. Sebagai contoh, menurunnya populasi hewan seperti kuda dan kerbau membuat semakin banyak orang berpikir untuk menguangkan hewan, kemudia kuda tunggang (jara halete) saat ini lebih memilih untuk menggunakan kendaraan bermotor.
Jadi budaya akan terus berjalan beriringan dengan pola pikir, gaya hidu, dan juga perkembangan teknologi atau dengan kata lain budaya akan terus berubah dari waktu ke waktu sesuai konteks kekinian tetapi yang perlu digarisbawahi adalah poin penting atau makna di balik tradisi atau budaya harus menjadi pedoman yang menjadi dasar perubahan.
H.      Merevitalisasi makna belis dalam adat perkawinan di sumba
Budaya Sumba yang kian hari semakin keluiar dari konteks budaya yang sesungguhnya, harus dimurnikan kembali. Proses pemurnian ini kembali akan tetap terjadi jika masyarakat adat sendiri terbuka akan nilai-nilai luhur yang tekandung dalam belis dan adat perkawinan. Proses pemurnian ini, tentunya melibatkan semua lapisan masyarakat, termasuk pemerintah.
Pada proses revitalisasi, pendidikan menjadi salah satu sarana yang berperan sangat penting, dimana pendidikan bertujuan untuk mencetak manusia dengan sumber daya yang unggul. Dari sini, maasyarakat akan mampu menjadi masyarakat yang bijaksana dalam berbudaya tanpa harus melenceng dari makna luhur yang terkandung dalam budaya itu sendiri. Peran penting pendidikan ini juga ditegaskan oleh Indah Lestari dalam buku Mozaik Sumba Barat. Terobosan yang harus ditempuh untuk keluar dari masalah yang sedang melilit nusa cendana ini adalah melalui pendidikan. Dalam konteks kesetaraan gender, perempuan harus mampu memiliki sumber daya yang baik, sehingga perempuan mampu mengubah kualitas hidup mereka.
Revitalisasi adat perkawinan dimana di dalamnya termasuk pembelisan tidak dimaksudkan untuk mengubah memurnikan secara utuh adat perkawinan dengan mengikuti prinsip dan seluruh tatanan adat seperti yang terjadi pada masa awal, tetapi revitalisasi berarti bahwa budaya dalam hal ini adat perkawinan di sumba tetap disesuaikan dengan konteks kekinian tetapi tetap berpegang teguh pada makna luhur yang terkandung didalamnya. 
                      
BAB III
METODE PENELITIAN
A.           Rancangan penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, mengingat bahwa:
a)      Penelitian ini menggunakan metode wawancara dengan para rato dan juru bicara dalam perkawinan adat yang dianggap tahu betul permasalahan, sebagai narasumber
b)      Penelitian ini juga menggunakan metode komprasi, dengan menyandingkan hasil wawancara dengan dokumen yang sudah transkip melalui media cetak maupun elektronik, agar kebenaran kualitatif dapat dipertanggungjawabkan.
c)      Peneliti sebagai instrument kunci yang sedapat mungkin menafsirkan makna dalam setiap istilah, melalui narasumber yang handal.
d)     Pemaparan dan pembahasan bersifat deskriptif
e)      Lebih mengutamakan proses dari pda hasil
f)       Makna menjadi perhatian utama dalam penelitian ini.
B.            Pendekatan penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan sosiologis budaya, yang mengkaji praktek budaya berdasarkan keadaan masyarakat budaya yang mengutamakan penghayatan dan praktek terhadap interaksi sosial dan nonsosial, dikaitkan dengan empiris. Dengan pendekatan sosiologi budaya, peneliti dapat menemukan pemaknaan dan pemahaman terhadap nilai budaya dalam adat perkawinan di Sumba.
Pendekatan sosiologi budya yaitu pendekatan yang bertolak dari asumsi bahwa budaya merupakan pencerminan kehidupan masyarakatnya. Karya tulis yang diangkat ke atas permukaan adalah bersumber dari masyarakat, menjadi sumber inspirasi sekaligus mampu memberikan pengaruh terhadap masyarakat.
Menurut antar semi (1990; 73), pendekatan sosiologi memiliki konsepsi dan kriteria sebagai berikut:
a)      Pendekatan sosiologis pada awal munculnya memandang ritual budaya (termasuk karya sastra) sebagai cermin sejarah, terutama sejarah perkembangan ekonomi dan teknologi.
b)      Analisis intrinsik, lebih menitikberatkan pada analisis perwatakan tokoh atau pemeran utama dalam ritual adat.
Pendekatan sosiologis budaya diterapkan dalam penelitian ini, mengingat sosiologi budaya berurusan dengan manusia dalam masyarakat.
C.            Instrument penelitian
Instrument penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan peneliti dalam mengumpulkan data agar lebih mudah, lebih cermat, lengkap, sistematis, dan mudah diolah. Penelitian ini berusaha mengungkapkan isi dan makna nilai budaya dari perkawinan adat di sumba melalui kajian pada adat perkawinan di lamboya sehingga dapat mengetahui gambaran nilai budaya yang terkandung dalam praksis budaya tersebut.adapun instrument yang digunakan dalam penelitian ini ialah mengonstruksi setiap tahapan dalam adat perkawinan di sumba sebagai petunjuk untuk menjawab permasalahan.
D.           Data dan sumber data
Data dan sumber data utama penelitian perempuan dan belis di Sumba kajian pada adat perkawinan di lamboya, diperoleh melalui:
Wawancara, rekaman dari para narasumber. Para narasumber yang dijadikan sumber untuk pengambilan data sesuai dengan syarat-syaratnya, yaitu tokoh masyarakat yang berkompeten, penutur asli bahasa lamboya (para rato) dan bertempat tinggal di lamboya, Sumba Barat.


E.            Teknik pengumpulan data
Prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan:
a)      Teknik wawancara
b)      Teknik perekaman
c)      Teknik Pemotretan
d)     Teknik pencatatan
e)      Studi kepustakaan.
F.             Teknik analisis data
Teknik dalam menganalisis data yang digunakan adalah metode analisis isi (content analysis). Teknik ini bertolak dari langkah-langkah yang dikemukakan Endraswara (2003: 30) sebagai berikut:
a)      Memberi interpretasai melalui menyimak dan membeca ciri-ciri yang berhubungan dengan adat perkawinan di sumba melalui kajian terhadap adat perkawinan di lamboya
b)      Melakukan analisis terhadap nilai-nilai budaya dalam adat perkawinan di sumba melalui kajian terhadap adat perkawinan di lamboya
c)      Melakukan deskripsi bagian per bagian dalam penelitian
d)     Merumuskan simpilan umum tentanmhg hasil penelitian decara tertulis yang lengkap
G.           Pemeriksaan keabsahan data
Teknik pemeriksaan keabsahan data dilakukan dengan memperhatikan tahapan berikut:
a)      Pengklarifikasian atau pengurutan adat perkawinan di sumba khususnya di lamboya
b)      Menggunakan teknik peer debriefing, yaitu pemeriksaan data, menguji hasil data dengan tokoh masyarakat yang mengerti dan tahu tentang adat perkawinan, tetapi bukan informan atau narasumber
c)      Teknik member chek dilakukan dengan cara mengecek kepada informan atau narasumber
d)     Teknik audit trial, dilakuakn dengan mengecek berbagai jenis data mentah maupun hasil data analisis.

BAB IV
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Adat perkawinan disumba merupakan salah satu model perkawinan yang penuh pertimbangan dalam arti bahwa segala sesuatu yang terjadi mengenai pembelisan, waktu, tempat dan kelanjutan perkawinan haruslah terjadi melalui proses diskusi atau hanewe. Pandangan masyarakat tentang tingginya belis di sumba juga pemahaman yang mengangap bahwa pembelisan merupakan bentuk praktek transaksi jual beli perempuan merupakan akibat dari pergeseran makna luhur yang terkandung dalam tradisi ini. Belis yang terlampaui mahal seperti yang banyak menimbulkan kontroversi dalam masyarakat bukanlah akibat dari budaya itu, tetapi merupakan akibat dari budaya konsumtif dan juga egoisme masyarkat.
Perempuan dalam adat sumba memiliki posisi yang sejajar dengan kaum pria bahkan sangat terhormat. Hal ini terbukti bahwa belis merupakan bentuk penghargaan terhadap derajat dan kehormatan wanita. Namun, ternyata dalam perjalana waktu makna ini mengalami pergeseran, sehingga hal ini perlu direvitalisasi dengan peningkatan mutu sumber daya manusia melalui pendidikan yang berkualitas. Perempuan harus juga mampu memiliki sumbae daya yang berkualitas, sehingga mampu memperbaiki kualitas hidup dan mengupayakan terwujudnya kesetaraan gender di tanah marapu ini.
B.     Saran
Mengingat bahwa masalah ini merupakan problema sosio-kultural, maka ii merupakan tanggung jawab seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena itu, semua orang harus ambil bagian dalam menindaklanjuti masalah ini. Masyarakat adat harus menjadi teladan yang menunjukkan kepada masyarakat terkait dengan keterbukaan terhadap makna luhur yang terkandung dalam setiap budaya dan tradisi khususnya dalam adat perkawinan. Pemerintah juga harus menjadi panutan yang membudaya dalam artian, pemerintah harus menjadi model uyang mengangkat makna belis sesunngguhnya bukan lagi menjadikan pembelisan sebagai sarana ujuk diri dan jabatan serta kekayaan. Dan masyarakat herus terbuka terhadap segala upaya pemurnian ini. Generasi muda juga harus menanamkan rasa cinta budaya dengan terus belajar tentang nilai-nilai yang terkandung dalam budaya dan juga upaya melestariakan budaya.














Daftar pustaka
Alwi, Hasan. 2005. Kamus besar bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Mahmudi. 20013. Penuntun penulisan karya ilmiah. Sleman Yogyakarta: Aswaja Pesindo
Beding, Marsel, B. & Beding, Lestari, Indah. Mozaik Sumba Barat (edisi revisi). Ende: Nusa Indah)
Wawancara dengan narasumber (informan):
a.       Jhon jawu Kabba (juru bicara dalam adat perkawinan di Lamboya)
b.      Kedu dukka (pewaris rumah besar di salah satu kampung adat)
c.       Taddu Baro (penutur adat)
d.      Poho Maga (juru bicara dalam adat perkawinan)
e.       Kedu Pajanging (penutur  adat dan juru bicara dalam adat perkawinan)

/div>

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

MOS/Ospek: Bullying yang dilegalkan lembaga Pendidikan