BELIS DAN PEREMPUAN SUMBA (kajian terhadap adat perkawinan di lamboya)
BELIS DAN PEREMPUAN
SUMBA
KAJIAN TERHADAP ADAT PERKAWINAN DI LAMBOYA
Disusun
oleh:
VIDELIS
RINTO BARO KALEKA
Yayasan
Pendidikan Sinar Buana Weetebula
tahun
ajaran 2019/2020
Kata
pengantar
Puji
serta syukur penulis haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan
anugerah-Nya karya tulis ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang di
tentukan.
Karya
tulis yang berjudul belis dan perempuan Sumba (kajian terhadap adat perkawian
di lamboya) ini, merupakan salah satu karya sekaligus sebagai tugas akhir
pendidikan di SMAS Seminari Sinar Buana Weetebula. Karya tulis ini ditulis
dengan tujuan mengenalkan salah satu budaya dan tradisi yang berkembang di
Negara Indonesia khususnya pada masyarakat Sumba kepada para pembaca, sekaligus
untuk mengedukasi masyarakat tentang bagaimana memaknai belis atau mahar dan
juga tentang konsep kesetaraan gender dalam pandangan adat sumba. Sehubungan
dengan ini, karya tulis ini dikemas sedemikian rupa sehingga sehingga selain
berguna sebagai media Informasi, diharapkan dapat dijadikan panduan untuk bagi
siswa untuk menulis sebuah karya. Dengan diselesaikan karya tulis ini, penulis
patut menyampaikan rasa syukur dan terimakasih atas bantuan dan dukungan dari
berbagai pihak yang terus memberikan semangat dan motivasi bagi penulis untuk
dapat menyelesaikan karya tulis ini. Rasa terimakasih penulis sampaikan kepada:
1. Rm.
Yustinus Guru Kedi, Pr selaku kepala sekolah SMAS Seminari Sinar Buana
Weetebula
2. Kedua
orang tua yang terus memberikan semangat dan motivasi kepada penulis dalam
menyelesaikan karya tulis ini
3. Kepada
dewan Pembina dan para guru di Seminari Sinar Buana yang telah banyak membantu
dengan memberikan banyak pengetahuan kepada penulis secara khusus kepada guru
bahasa Indonesia yang memberikan banyak materi tentang kepenulisan
4. Rasa
terimakasih juga saya ucapkan kepada Rm. Tarsisius Ndate, Pr selaku prefek SMA
Seminari Sinar Buana yang selama ini telah banyak membantu penulis dalam
kegiatam menulis di asrama
5. Terimakasih
juga saya ucapkan kepada bapak Hieronimus Ara Rate, S.Pd yang telah membantu
penulis dalam hal sumber kepustakaan dan metode penulisan.
6. Terimakasih
yang berlimpah saya ucapkan kepada para narasumber atau informan yang telah
membantu penulis dengan informasi yang sangat bermanfaat. Tanpa kalian penulis
tidak dapat menyelesaikan tulisan ini.
7. Dan
ucapan terimakasih kepada rekan- rekan pelajar di Seminari Sinar Buana yang
telah memberikan banyak dukungan dan semangat kepada penulis.
8. Ucapan
terimakasih juga penulis ucapkan kepada relawan peduli covid-19, yang selama
ini banyak membantu dalam beberapa kesempatan bertukar pikiran.
Penulis
menyadari bahwa tulisan ini jauh dari sempurna. Ada begitu banyak hal yang
menjadi kekurangan, kurang pengalaman, kurang keterampilan dan kurang
pengetahuan. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat diharapka sebagai masukan
yang berharga demi penyempurnaan tulisan ini. Semoga karya tulis ini bermanfat
bagi pembaca sekalian untuk menanamkan nilai-nilai budaya dalam kehidupan demi
kelestarian budaya.
BAB
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
Indonesia
merupakan Negara kepulauan yang memiliki beragam kekayaan salah satunya adalah
budaya. Budaya Indonesia yang beragam dan unik ternyata mampu menarik perhatian
dunia, sehingga Indonesia menjadi salah sau Negara wisata budaya.
Salah
satu kebudayaan inonesia yang sangat esensial adalah adat pernikahan. Meskipun
saat ini, banyak pasangan muda yang lebih memilih meniadakan pernikahan adat
dengan hanya pernikahan sipil dan agama saja, tetapi tidak jarang juga yang
masih melestarikan budaya ini. Salah satunya adalah di Sumba. Masyarakat Sumba
masih memegang teguh tradisi dan budaya yang diwariskan oleh leluhur termasuk
adat perkawinan. Salah satu bagian dari adat perkawinan yang paling banyak
disoroti adalah pemberian belis atau mahar. Hal ini dikarenakan tuntutan belis
yang harus berupa hewan ternak, parang dan tombak serta perhiasan lainnya
seprti mamuli dan gading. Mahalnya
pemberian belis ini ternyaa menimbulkan kontroversi dalam masyarakat. Banyak
masyaraka yang menilai sisem pembelisan di Sumba sebagai bentuk pemborosan dan
ransaksi jual-beli.
Di
balik mahalnya belisdi Sumba, ternyata ada makna luhur yang terkandung di
dalamnya. Ketidakpahaman masyarakat terhadap makna luhur inilah yang
menyebabkan kontroversi dan kesalahan dalam menginterpretasi. Masalahnya adalah
pergeseran makna ini ternyata membawa dampak terhadap cara pandang masyarakat
terhadap perempuan dan juga dalam kehidupan sosial. Maka sangat Nampak disini
bahwa kesetaraan gender masih menjadi permasalahan yang perlu terus diperjuangkan.
Dalam buku mozaik Sumba barat, S Indah lestari dengan sangat jelas
menggambarkan betapa susahnya dunia wanita dan anak-anak. Dalam buku ini Nampak
bahwa wanita Sumba hanya menjadi nomor dua dalam kehidupan keluarga dan sosial.
Melalui
tulisan ini, penulis berusaha mengkaji tentang keluhuran budaya sumba (lamboya)
secara khusus tentang makna luhur dibalik belis serta bagaimana adat sumba
memandang wanita.
B. Rumusan
masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang dapat di ambil sebagai berikut:
1. Apa
yang dimaksud dengan mahar atau belis?
2. Bagaimana
proses perkawinan adat di Sumba?
3. Bagaimana
prinsip perkawinan adat di Sumba?
4. Apa
makna belis dalam perkawinan adat sumba?
5. Apa
dampak pembelisan dalam kehidupan masyarakat di sumba?
6. Bagaimana
adat Sumba memandang perempuan?
7. Bagaimana
perkembangan adat perkawinan di Sumba dari waktu ke waktu?
8. Bagaimana
cara merevitalisasi makna belis dalam perkawinan adat sumba?
C. Tujuan
penelitian
Karya tulis ini
bertujuan mengangkat tradisi perkawinan adat Sumba melalui kajian terhadap adat
perkawinan di lamboya, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Melatih
keterampilan menulis bagi penulis/peneliti
2. Melatih
keterampilan mencari dan mengumpulkan data di lapanagan
3. Mengasah
teknik dan kemampuan mengadakan wawancara dengan narasumberuntuk memperoleh
data yang akurat.
4. Memperoleh
pengalaman langsung di lapanagn
5. Dapat
mengetahui dan mempelajari lebuih dalam tentang hal-hal yang berkaitan dengan
budaya dan tradisi belis dalam adat perkawinan di sumba khususnya di lamboya
6. Untuk memenuhi tugas akhir pendidikan di SMAS
Seminari Sinar Buana Weetebula.
BAB
2
PEMBAHASAN
A. Defenisi
belis atau mahar
Menurut
kamus basar bahasa Indonesia (KBBI), mahar merupakan pemberian wajib
berupamuang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan
ketika dilangsungkan pernikahan.
Menurut
W J S poewardaminta, mahar adalah pemberian dari mempelai laki-laki kepada
pengantin perempuan. Berdasarkan dasar hukum, mahar adalah pemberian pria
kepada wanita sebagai pemberian wajib untuk memperkuat hubungan dan menumbuhkan
tali kasih sayang antara kedua suami istri
B. Proses
perkawinan adat di sumba
Seperti
halnya pendidikan, adat perkawinan di Sumba juga mengalami beberapa proses yang
di sebut nauta (bahasa lamboya = tangga). Secara keseluruhan, adat
perkawinan di Sumba terdiri atas empat tangga atau nauta.
A. Nauta
pertama
Sebelum masuk
pada nauta pertama atau “ panen gayi nauta ”, tentunya pihak pria harus melamar
atau dalam istilahnya range hataki.
Dalam tahap ini, biasanya pelamar atau pihak pria menemui orang tua gadis yang
dilamar denga membawa siri pinang dan juga biasanya membawa gula dan kopi. Hal
ini menunjukkan ia datang sebagai tamu dan adanya keinginan untuk melamar.
Proses ini sangat menentukan berlangsungnya perkawinan adat, karena dalam
proses ini, orang tua gadis akan memberikan pendapat dan komentar apakah proses
bisa dilanjutkan ke nautan yyang pertama atau tidak. Apabila orang tua gadis
menyatakan proses dilanjutkan maka mereka akan meminta sang pelamar untuk
membawa serta dengan orang tua pada saat masuk pada nauta yang pertama.
Pada nauta yang pertama, ada beberapa
tahapan yang harus dilalui.
1) Ngidi
ro kutta (bahasa lamboya = bawa siri pinang )
Pada
tahap ini, pelamar datang bersama dengan orang tua untuk memenuhi pangilan dari
orang tua gadis pada saat range hatakki.
Pada tahap ini pihak pria datang dengan membawa siri pinang yang masih
bertangkai. Hal ini menggambarkan harapan dan keinginan untuk membangun sebuah
keluarga atau hubungan yang bersatu atau berangkai, atau dalam istilah adatnya kanna ha kuk limma takked, iana gela na gak
iana toro na dhaida (supaya seperti kuku kucing dan tangan tokek, supaya
jangan lenting). Di sini jelas bahwa
keinginan yuang kuat akan persatuan yang tidak terceraikan. Siri pinang yang di bawa melambangkan keramahtamahan, sapaan, dan
keinginan untuk mencari pendapat antara orang tua. Selain menyiapkan siri
pinang, pihak pria juga harus menyiapkan seekor anjing (bagha), tombak (nabbu),
dan tentunya ranga atau hewan berupa kerbau dan kuda.
Pada
tahap ini juga pihak wanita harus menyiapkan kain dan sarung, serta seekor babi
betina. Pada prinsipnya babi yang disiapkan haruslah seekor anak babi, atauy
dalam ukuran yang sering digunakan dalam masyarakat, anak babi betina yang
dipikul dua orang. Anak babi betina ini menggambarkan keinginan atau harapan
pihak wanita untuk tetap berkembang. Namun, realita menunjukkan banyak orang
melanggar aturan ini, akibat gengsi sehingga babi yang disiapkan lebih besar
dari yang ditetapkan.
Pada tahap ini,
keluarga bertukar pikiran atau berdiskusi tentang kelanjutan hubungan dan
keluarga perempuan akan menentukan jumlah belis pada tahap selanjutnya, tetapi
tetap akan didiskusikan bersama sehingga memperoleh kesepakatan untuk lanjut
pada tahap selanjutnya.
2) Ngidi
ranga panne
Setelah
ngidi ro kutta, tahap selanjutnya adalah ngidi ranga panne. Tahap ini adalah
kelanjutan dari ngidui ro kutta atau bawa sirih pinang. Pada tahap ini keluarga
pria datang untuk membawa belis yang sudah ditentukan pada saat ngidi ro kutta.
Pda tahap ini, masih sama pihak pria menyiapkan seekor anjing atau bagha,
nabbu, dan tentunya belis atau ranga. Ngiddi ranga panne sendiri artinya pria
atau pelamar diijinkan masuk rumah atau istilahnya naik (panne). Pada tahap ini
pria boleh tinggal dirumah untuk bersatu dengan pasangannya, tetapi hubungannya
belum dinyatakan sah secara adat.
Pada
tahap ini juga kedua mempelai disatukan atau istilahnya habolana (bahasa
lamboya = digabungkan). Sehingga pada bagian ini secara resmi kedua mempelai
disatukan penyatuan ini dikukuhkan dengan menyelempangkan kain pada pria dan
sarung pada wanita oleh loka (saudara laki-laki ibu) dari wanita.
Penyelempangan ini harus di bahu bagian kanan pada keduanya, hal ini
melambangkan penyerahan tanggung jawab keluarga yang akan mereka tempuh bersama.penyelempangan
ini dilakukan oleh loka atau paman, karena loka merupakan sumber berkat atau
dengan kata lain bahwa keluarga lokalah yang telah mendatangkan berkat kepada
keluarga wanita, sehingga keluarga pria datang memohon berkat. Sebelum kedua
mempelai di satukan, keduanya akan mengikrarkan janji untuk saling mencintai
dan tetap menjadi suami istri dalam keadaan apapun. Janji ini dikukuhkan dengan
sebuah parang atau katopo dari pria dan selembar kain dari wanita.
Seperti
halnya pada saat ngidi ro kutta, pada tahap ini juga kedua belah pihak akan
berdiskusi tentang rencana selanjutnya termasuk jumlah belis yang harus dibawa
lagi pada tahap selanjutnya. Pada tahap ini juga, sama seperti pada tahap
sebelumnya, keluarga harus menyiapkan kain dan sarung serta seekor babi, tetapi
tidak harus babi betina seperti saat ngidi ro kutta.
B. Nauta
kedua
Setelah nauta pertama, proses perkawinan
adat akan masuk pada nauta yang kedua. Pada nauta ini, proses akan masuk pada
tahap yang dinamakan katge (ikat).
Proses ini merupakan proses pengukuhan hubungan yang telah disatukan dengan
cara diikat secara adat. Pada proses ini, keluarga pria harus menyiapkan mamuli,
teko (bahasa lamboya = kalewang). Pemberian mamuli ini berarti bahwa berkat
yang telah dibawa peroleh dari keluarga wanita akan diberi mamuli sebagai
persembahan dan juga persembahan atas jerih payah dari ibu yang telah megandung
dan melahirkan mempelai wanita. Proses pengikatan perkawinan ini dilakukan
dengan pengulangan pengikraran janji nikah oleh kedua mempelai, pemotongan
anjing, pemberian mamuli, parang dan teko dari pihak pria, dan pemberian kain,
sarung dan pemotongan babi dari pihak wanita.
C. Nauta
ketiga
Nauta ini merupakan tahap pengesahan
secara resmi oleh adat. Hubungan yang telah disatukan dan dikukuhkan atau
diikat, akan disahkan pada tahap ini. pengesahan hubungan ini akan berlanjut
pada pindahnya mempelai wanita pada rumah mempelai pria. Sebelum pindah, proses
pengesahan dilakukan dengan pemotongan bagha atau anjing serta pemberian selendang
yang digulung melingkar oleh pihak pria pada pihak wanita, dan juga pemotongan
babi yang diberikan secara utuh kepada pihak pria oleh pihak wanita. Pemberian
selendang yang digulung melingkar melambangkan hubungan yang tetap bersatu
layaknya cincin pada pernikahan. Babi yang diberikan utuh (kecuali tali perut)
melambangkan harapan akan hubungan yang harmonis dan utuh. Semuanya kembali
lagi pada prinsip yang pertama, kanna ha
kuk limma takked, iana gela na gak iana toro na dhaida. Pemotongan babi dan
anjing pada setiap tahap pada hakikatnya merupakan bentuk persembahan pada
nukuhara (marapu). Segala proses yang terjadi harus dikembalikan kepada sang
pencipta melalui perantaraan para marapu atau nukhara. Konsep pencipta dalam
kepercayaan marapu meiliki banyak istilah tanpa nama, diantaranya adalah ai
hatak tamo ai ha nuwa ngara (
yang tidsdak punya tamo atau nama yang sama dan tidak punya nama), bale ro katil bhakla kerre kabu (
telinga besar dan mata besar atau artinya mendengar dan melihat segala sesuatu
).
Pada proses pemindahan ini, biasanya
orang tua mempelai wanita akan menyiapkan kuda tunggang (jara halete) dua ekor
untuk kedua mempelai masing-masing satu ekor, dan seekor kerbau betina sebagai
pengantar habura higggi ye (bola yang
digunakan untuk menyimpan pakainan dalam hal ini kain dan sarung).
C. Prinsip-prinsip
perkawinan adat sumba
Jika
kita melihat realita yang terjadi di Sumba, prinsip perkawinan yang terjadi
patut menuai kontoversi, hal ini dikarenakan maraknya perkawinan paksa, perkawinan
dini, belis yang terlampau tinggi dan perjodohan serta poligami. Namun, apabila
kita telusuri secara mendalam, prinsip-prinsip perkawinan adat Sumba sebenarnya
sangatlah luhur. Apakah benar perkawinan adat Sumba mengijinkan poligami?
Apakah benra belis perempuan Sumba mahal? Apakah benra bahwa wanita Sumba harus
kawin pada usia dini?
Pada
hakikatnya perkawinan adat Sumba merupakan perkawinan yang penuh pertimbangan
dalam hal ini kembali lagi pada prinsip awal kanna ha kuk limma takked, iana gela na gak iana toro na dhaida. Dari
prinsip ini, maka pada dasarnya perkawinan adat Sumba sangat mengutamakan cinta
sebagai landasan untuk membangun keluarga. Hal inilah yang mendasari sehingga
pada saat pengikatan dan penyatuan, mempelai harus mengikrarkan janji nikah.
Sebagaimana
prinsipnya perkawinan adat Sumba segagai perkawinan yang penuh pertimbangan,
segala sesuatu harus dipertimbangkan melalui diskusi oleh kedua keluarga
sehingga memperoleh keputusan atau kesepakatan bersama. Apakah benra belis
perempuan Sumba mahal? Sebenarnya pertanyaan ini hanya menjadi sindiran
terhadap realita bukan sebagai pertanyaan terhadap adat. Mengapa? Karena pada
dasarnya perkawinan adat Sumba adalah perkawinan yang penuh pertimbangan. Maka
segala sesuatu termasuk belis, harus melalui proses pertimbangan atau diskusi.
Oleh sebab itu, mahal dan tidaknya belis tak dapat ditakar oleh adat tetapi
semuanya kembali tergantung dari kesepakatan. Jika realita yang berkermbang
menunjukkan bahwa pada umumnya jumlah belis perempuan Sumba terlampau mahal,
maka perlu ditinjau dari status sosial keluarga. Pada umumnya yang berkembang
dalam masyrakat, status sosial dan pendidikan menentukan jumlah belis tetapi
kembali lagi pada prinsipnya, bahwa adat perkawinan Sumba tidak memasang target
jumlah belis. Oleh karena itu, mahalmnya belis lebih bergantung pada gengsi
sosial bukan karena adatnya.
Prinsip
pembelisan dalam adat perkawinan di Sumba, sebenranya memiliki tahapan-tahapan
seperti yang telah dijelaskan diatas. Pada setiap tahap, keluarga mempelai akan
memimta belis sesuai yang telah disepakati, tetapi belis yang dimaksudkan tidak
harus dibayar lunas pada waktu yang di tentukan atau dalam istilahnya lebhora todi (dikerjakan dulu), disini
nampak bahwa belis yang belum dilunasi dapat dilunasi setelah membangun
kehidupan keluarga dalam artian bahwa mereka diberi kesempatan bekerja terlebih
dahulu. Dalam waktu-waktu tertentu seperti saat keluarga mempelai wanita
melaksanakan pesta atau acara lainnya, keluarga mempelai pria dapat membawa
hewan dan hewan tersebut dihitung sebagai belis. Dalam perhitungannya, belis
yang dibawa pada saat ngidi ro kutta
akan dihitung pada saat ngidi ranga panne
demikian jugga saat katge maupun saat
pindah rumah.
Selain
pembelisan, salah satu masalah yang sering menjadi kontroversi dalam masyarakat
adalah poligami. Poligami dalam perkawinan adat Sumba hanya bisa terjadi karena
alasan-alasan tertentu yang memang pada dasarnya harus terpenuhi. Sebagai
conto, apabila istri tidak dapat menghasilkan keturunan, maka sang suami dapat
menikah lagi atas persetujuan istri, karena mempertimbangkan maksud perkawinan
seperti yang dimaksudkan pada saat ngidi ro kutta yakni perkawinan diharapkan
menjadi sutu hubungan yang berangkai atau berkembang (makna sirih pinang).
Tetapi perkawinan yang kedua hanya boleh terjadi atas persetujuan istri dan
juga orang tua istri. Contoh lainnya adalah, apabila keluarga memiliki banyak
tanah yang harus digarap, tetapi terbatas tenaga, maka suami dapat menikah lagi
tetapi harus atas dasar persetujuan istri dan keluarga apabila hal ini tidak
terpenuhi, maka perkawinan tidak sah secara adat.
Jadi
pada prinsipnya, perkawinan adat Sumba adalah perkawinan yang penuh
pertimbangan baik secara ekonomi, sosial, maupun perasaan. Dan prinsip utama
yang selalu menjadi dasar dari perkawinan adat Sumba adalah keinginan untuk
bersatu dan harmonis serta berkembang menjadi keluarga yang besart seperti yang
digambarkan dalam istilah adat kanna ha
kuk limma takked, iana gela na gak iana toro na dhaida.
D. Makna
belis dalam perkawinan adat di sumba
Mahar atau yang
lazim disebut belis, bukanlah sekedar bayaran atau praktek transaksi jual beli.
Dibalik persoalan atau kontroversi mengenai belis, ternyata ada makna luhur
yang terkandung didalamnya. Pemaknaan belis yang sesungguhnya sesuai adat
sebenarnya akan menjawab segala kontroversi yang muncul. Sehingga dapat
dikatakan merosotnya nilai budaya dalam adat perkawinan salah satunya
disebabkan oleh pemaknaan yang keliru tentang hakikat belis atau mahar itu
sendiri. Pada dasarnya belis dalam adat Sumba khusunya di lamboya memiliki
makna yang luhur sebagai berikut.
Pertama, belis atau mahar dalam adat
perkawinan di Sumba merupakan bentuk penghargaan dan penghormatan terhadap
perempuan. Perempuan adalah pencipta sejarah manusia. Dunianya terlampau luas
karena mencakup dunia kaum pria dan juga dunia anak keturunan. Oleh karenanya
perempuan dapat disejajarkan dengan bumi yang melahirkan berbagai macam jenis
kehidupan. Dapat dikatakan, kelangsunga preradaban manusia ada ditangan
perempuan. Laki-laki tentunya berperan dalam hal ini, tetapi yang pastinya
bahwa laki-laki selalu dan akan selalu dilahirkan dari Rahim perempuan. Atas
dasar ini, maka sudah sepantasnya perempuan mendapat penghormatan dan
penghargaan. Tradisi belis dengan demikian adalah tradisi penghormatan terhadap
perempuan, bukan hanya dari laki-laki, tetapi dari semua manusia, termasuk anak
keturunan yang akan dilahirkan perempuan. Dalam adat perkawinan di Sumba,
pemberian mamuli merupakan bukti dari penghargaan tersebut, sekaligus pemberian
mamuli melambangkan Rahim atau hoba yang melahirkan manusia. Penghormatan dan
penghargaan ini juga tidak semata-mata ditujukan pada perempuan yang dilamar,
tetapi juga merupakan bentuk penghargaan terhadap seluruh perempuan terlebih
khusus ibu yang telah mengandung perempuan yang dilamar. Pemahaman belis
sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan memiliki dua konsekuensi. Pertama,
belis tidak dapat ditiadakan dari keseluruhan sistem dan upacara pernikahan.
Tidak memberikan belis berarti juga tidak menghargai perempuan. Artinya, pihak
laki-laki mesti tetap memberikan belis, meski jumlah belis tersebut terbilang
sedikit. Karena belis bukan tentang jumlah yang terhitung, tetapi tentang
symbol. Kedua, melanjuti yang pertama, penghargaan dan penghormatan terhadap
perempuan. Poin penting yang perlu digarisbawahi adalah belis tidak seharusnya
melampaui batas kewajaran (entah secara suka rela diberikan pihak laki-laki
ataupun berdasarkan permintaan pihak perempuan). Hal ini perlu agar tradisi
belis tidak dipandang sebagai sebuah “transaksi jual beli” perempuan.
Kedua, tradisi belis merupakan
perlawanan terhadap praktik preduksian perempuan. Melelui tradisi belis, semua
orang diingat pada peran peting perempuan. Perempuan bukan barang instrumental
tetapi manusia yang bermartabat. Sebagai manuusia yang bermartabat, perempuan
sudah sepantasnya dihormati, dihargai dan dijaga. Tradisi belis juga mendukung
konsep kesentaraan gender.
Ketiga, dalam adat perkawinan di Sumba
khususnya lamboya, belis juga dapat bermakna ucapan trimakasih. Belis, meski
merupakan bentuk penghargaan terhadap perempuan, namun dalam praktik,
peruntukanya selalu bagi keluarga. Hal ini adalah wajar dengan mempertimbangkan
pengorbanan keluarga dalam meendidik dan membesarka anak perempuan mereka. Belis
dalam pemaknaan ini tidak semata-mata ditujukan kepada orang tua perempuan,
tetapi juga merupakan wujud terimaksih kepada seluruh keluarga termasuk
nukuhara (marapu) yang telah melindungi dan menjaga anak perempuan tersebut.
Dalam hal ini juga pemberian belis dimaksudkan untuk menghargai keluarga loka
(asal dari ibu mempelai perempuan) sebagai sumbar berkat, sehingga dalam proses
perkawinan adat, harus selalu melibatkan loka, bahkan lokalah yang berhak untuk
memnyatukan kedua mempelai dalam acara habolana. Meski demikian, makna ketiga
ini bukan merupakan makna substansial dari belis. Sebab tugas mendidik dan
membesarkan, termasuk di dalamnya menyekolahkan, merupakan tanggungjawab yang
memang harus dijalankan oleh keluarga.
E. Dampak
pembelisan dalam kehidupan masyarakat di sumba
Pembelisan
di Sumba ttentunya membawa banyak dampak terlebih dalam kehidupan sosial. Belis
memiliki beragam dampak baik itu dampak positif maupun dampak negatif. Berikut
ini beberapa dampak dari pembelisan dalam kehidupan sosial masyarakat.
1.
Dampak-dampak positif
Semakin eratnya hubungan kekeluargaan
atau kekerabatan
Sebagaimana belis
adalah tanda penghormatan kedaperempuan dan juga sebagai tanda terimakasih
kepada orang tua, maka deri sini tentu akan terbentuk suatu hubungan
kekeluargaan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa belis tidak
serta-merta dilunasi pada saat acara pembelisan, tetapi dapat dilunasi dalam
waktu-waktu tertentu. Hal ini tentu saja akan membuat komunikasi antara kedua
keluarga semakin erat. Maka dalam konteks ini, belis dapat dikatatakan sebagai
jembatan komunikasi antara kedua belah pihak.
Timbulnya rasa hormat terhadap perempuan
dan keluaraga mempelai perempuan
Sebagaimana hakikatnya
bahwa belis merupakan bentuk penghormatan dan penghargaan terhadap kaum wanita,
maka dalam hal ini apabila makna simbolis ini benar-benar dihayati maka akan
menyebabkan timbulnya rasa penghargaan dan hormat terhadap perempuan.
Pelajaran tentang makna perjuanagan
Saat
ini, belis menjadi satu bagian dari pernikahan adat yang paling esensial
sekaligus dikategorikan sebagai suatu proses yang sulit apalagi dalam awal
kehidupan keluarga. Kesulitan ini mengajarkan kepada kedua mempelai tentang
makna perjuangan dan juga sebagai gambaran awal dari tanggung jawab keluarga
yang lebih besar.
Berdampak pada peringatan terhadap
warisan leluhur. Adat perkawinan dan pembelisan di sumba mengingatkan
masyarakat akan karya besar dari para lelujur.
2.
Dampak-dampak negatif
Munculnya paham-paham yang keliru
tentang perempuan
Seperti yang telah
dijelaska sebelumnya bahwa belis
terkadang disalah pahami oleh segelitir masyarakat. Banya orang memandang
tradisi belis sebagai praktek transaksi jual beli perempuan. Namun, konsep ini
dalam perjalanan waktu semakin tidak Nampak lagi. Kekeliruan konsep ini
menyebabkan munculnya banyak masalah seperti kekerasan dalam rumah tangga, dan
masih banyak lagi.
Menyebabkan kemiskinan
Realita menunjukkan
bahwa ditengah kesusahan hidup secara finansial, masyarakat Sumba harus terus berupays
untuk memenuhi kebutuhan belis, sebab bagaimanapun bagian ini merupakan bagian
yang penting dalam perkawinan adat di Sumba. Meskipun demikian, belis bukanlah
akar atau penyebab kemiskinan yang dasariah, sebab pada hakikatnya perkawinan
adat Sumba adalah perkawinan yang penuh pertimbangan, sehingga dalam proses
wawancara kedua belah pihak dapat menakar belis sesuai keadaan ekonomi.
Dijadikan sebagai ajang untuk menunjukan
kekuasaan
Dalam praktek
pembelisan di Sumba, masyarakat khususnya masyarakat pada golongan menngah
keatas, berusaha untuk menunjukkan status sosila mereka. Disini, acara adat
pembelisan dijadikan sebagai ajang untuk unjuk diri dan kekuasaan.
F.
Pandangan adat sumba terhadap kaum perempuan
Saat
ini, salah satu hal yang masih menjadi eprgumulan serius masyarakat Indonesia,
Sumba khususnya adalah isu kesetaraan gender. Di Sumba realita menunjkkan
betapa mirisnya kehidupan kaum wanita. Dalam salah sati bagian dari buku mozaik
Sumba Barat, Indah Lestari Beding memberikan penjelasan terkait keprihatiana
terhadap kehidupan di Sumba secara khusus tentang dunia perempuan. Dalam
tulisan ini, ia mengambarkan betapa susahnya hidup seorang wanita, sementara
kaum pria hanya menjadi penonton dan pemikir di balik susahnya hidup. Ini
menjadi gambaran nyata tentang belum adanya kesetaraan gender di Sumba.
Realitas ini sebenarnya hanya gaya hidup masyarakat dan bukan prinsip adat.
Adat Sumba tidak sedikitpun membuat perbedaan status antara pria dan wanita.
Bahkan jika ditelusuri lebih lanjut, maka dapat ditemukan beberapa rujukan yang
malah menempatkan perempuan pada posisi yang jauh lebih terhormat. Berikut
beberapa rujukan yang dapat menjelaskan tentang adat Sumba yang menjunjung
tinggi derajat perempuan.
a)
Mamuli atau mamoli.
Mamoli
atau mamuli merupakan aksesoris sekaligus sebagai harta yang paling berharga
dalam masyarakat Sumba. Maoli atau mamuli sendiri adalah gambar kewanitaan atau
gambar kebesaran wanita. Hal ini menunjukkan bahwa wanita adalah pengukir
sejarah manusia, dimana rahim perempuan yang mampu meghasilkan keturunan, hal
ini bukan berarti bahwa lelaki tidak berperan dalam hal berketurunan, tetapi
bagaimanapun juga perempuanlah yang melahirkan. Selain itu, mamoli juga
dipandang sebagai lambing kesuburan dan berkat. Disini nampak jelas bahwa
wanita tidak hanya sebagai manusia tetapi juga dipercaya sebagai pembawa
berkat.
b)
Karabuka atau tullura (dapur dan tungku
api)
Setiap rumah pasti
memiliki dapur, sebab dapur merupakan tempat yang paling esensial dalam
kehidupan masyarakat. Demikian juga rumah adat Sumba memiliki dapur atau yang
disebut karabuka. Namun, uniknya karabuka atau dapur dalam rumah adat Sumba
terletak di tengeh-tengah rumah. Setiap hari, perempuan Sumba beraktivitas di
tempat ini. Posisi dapur atau karabuka ini sebenarnya menunjukkan identitas
fungsional perempuan Sumba, dimana perempuan Sumba dalam pandangan adat adalah
jantung kehidupan keluarga, sebab dari sanalah datangnya makanan dan minuman
yang adalah kebutuhan pokok manusia.
c)
Posisi atap rumah
Atap
rumah atau bumbung rumah sebenarnya menyimpan makna yang sangat dalam. Posisi
atap atau bumbung rumah yang menjulang sama tinggi sebenarnya menunjukkan peran
dan fungsi laki-laki dan perempuan yang disetarakan atau dengan kata lain tidak
berat sebelah atau seimbang. Sebagaimana bagian kiri melambangkan laki-laki dan
perempuan di sebelah kanan.
d) Posisi
saat jalan beriringan
Dalam
segala interaksi sosial, masyarakat adat Sumba memiliki etika sosial termasuk
etika berjalan. Saat berjalan bersama, entah dalam jumlah besar atau rombongan
maupun saat jalan berduaan, etika jalan yang benar adalah perempuan selalu
menjadi yang dahulu barulah diikuti oleh laki-laki. Etika jalan ini
mencerminkan perempuan yang harus dilindungi kaum pria. Selain itu, etika jalan
ini juga menunjukkan bahwa sebenarnya perempuan bukanlah yang nomor dua tetapi
menjadi yang pertama. Jadi etika jalan ini menggambarkan tentang derajat
perempuan yang harus dilindungi dan di junjunhg tinggi bukan direndahkan.
e)
Penerima tamu dalam acara atau pesta
Sumba
dikenal sebagai pulau marapu dengan segala ritual dan pestanya. Pada
pesta-pesta seperti pesta ked’de, penguburan orang mati, dan pesta-pesta
lainnya, tentunya melibatkan banyak tamu undangan. Pada saat penerimaan tamu, yang
menerima tamu terlebih dahulu di natara (tempat penerimaan tamu dalam acara
adat) adalah perempuan. Hal ini juga menjadi rujukan yang menunjukkan bahwa
peran perempuan selalu mejadi yang pertama. Pada setiap pesta yang diadakan,
suatu hal yang hampir tidak diketahui banyak orang adalah bahwa seluruh
rangkaian acara diakomodir oleh perempuan. Disini juga Nampak peran perempuan
sebagai pengambil keputusan.
f)
Belis
Belis merupakan tanda
penghargaan atau persembahan kepada orang tua atau keluarga mempelai perempuan
atas berkat yang diperoleh dari mereka. Disini Nampak bahwa orang tua gadis
merupakan sumber berkat dan gadis atau perempuan merupakan berkat itu sendiri.
Belis menjadi penegas hal ini.
Sekiranya
rujukan-rujukan diatas mewakili rujukan-rujukan lainnya yang memberi penegasan
dan gambaran tentang pandangan murni adat terhadap kaum perempuan.
G. Perkembangan
perkawinan adat di sumba dari waktu ke waktu
Awal
munculnya adat perkawinan di Sumba merupakan sebuah bagian dari sejarah
kebudayaan yang tidak dapat dipastikan, karena pada dasarnya adat Sumba pada
umumnya mengunakan budaya tutur dalam artian semuanya bergantung pada ragam
lisan atau tidak ada pedoman tertulis. Sehinnga, adat Sumba diwariskan secara
turun temurun dan terus megalami perkembangan seiring berjalannya waktu. Perkembangan
budaya ini selalu mengikuti konteks kekinian meskipun tidak sepenuhnya itu
terjadi.
Menurut
para penutur adat, pada awal mulanya adat Sumba muncul dari prinsip-prinsip
kehidupoan sosial dan religi, meskipun hal ini masih sepenuhnya belum dapat
dipastikan secara mendetail berkaitan tentang waktu. Perkembangan praktek
budaya dalam konteks adat perkawinan berdasarkan kajian, maka saya akan membagi
perkembangan ini dalam tiga masa.
Pertama,
masa awal. pada masa ini praktek adat perkawinan termasuk didalamnya mengenai
pembelisan masih berpatokan pada makna luhur yang terkandung didsalamnya. Masa
ini merupakan masa awal masyarakat adat Sumba khususnya lamboya mengenal budaya
dan pembelisan. Karena pada masa ini masyarakat masih berpatokan atau berpegang
teguh pada prinsip dan makna perkawinan adat yang sebenarnya, maka dapat
disimpulkan bahwa masa ini merupakan masa dimana budaya ini terbentuk dan masih
murni dalam prakteknya.
Kedua,
masa perubahan. Pada masa ini, adat perkawinan yang telah dipraktekkan pada
masa awal mengalami perubaha atau bermutasi akibat waktu dan pola hidup
masyarakat. Pada masa ini, masyarakat mulai membuat pemisahan kedudukan atau
strata dalam kehidupan sosial. Pada masa ini, mulai muncul pengolongan sosial
seperti marabba (bangsawan), rakyat biasa dan ata (budak atau hamba).
Pengolongan status sosial ini ternyata mempengaruhi hampir seluruh aspek
kehidupan termasuk budaya. Demikian juga adat perkawinan turut berubah karena
pengolongan ini. Mirisnya, perubahan ini membuat praktek adat perkawinan
menjadi melenceng dari makna yang telah tercipta pada tahap awal. Pada masa
ini, mulai adanya perbedaan jumlah atau taraf belis antara golongan dan juga
munculnya perjodohan dan kawin paksa. Golongan marabba akan menjodohkan anak
mereka dengan orang segolongan. Inilah cikal bakal munculnya tradisi kawin
dengan anak loka (anak laki-laki menikah dengan anak perempuan dari saudara
laki-laki ibu). Selain perubahan-perubahan yang disebutkan diatas, masih banyak
lagi perubahan yang terjadi pada masa ini.
Ketiga,
masa pemurnian kembali. Masa ini terjadi pada masa saat ini, dimana masyarakat
terjun dalam perkembangan teknologi, dan semakin berpendidikan. Pada masa ini,
masyarakat semakin berpendidikan sehingga pola pikir masyarakat tidak lagi
seperti yang terjadi pada masa perubahan. Ada banyak perubahan yang terjadi
pada masa ini yang berorientasi pada pemurnian kembali, sebagai contoh banyak
orang mulai berpikir untuk membatasi jumlah belis, dan masyarakat lebih banyak
memahami makna yang terkandung di balik belis tersebut. Meskipun demikian, masa
ini tidak menjamin perubahan yang sempurna mengingat prinsip dan dan sarana
yang kurang relevan terhadap perkembangan saat ini. Sebagai contoh, menurunnya
populasi hewan seperti kuda dan kerbau membuat semakin banyak orang berpikir
untuk menguangkan hewan, kemudia kuda tunggang (jara halete) saat ini lebih
memilih untuk menggunakan kendaraan bermotor.
Jadi
budaya akan terus berjalan beriringan dengan pola pikir, gaya hidu, dan juga
perkembangan teknologi atau dengan kata lain budaya akan terus berubah dari
waktu ke waktu sesuai konteks kekinian tetapi yang perlu digarisbawahi adalah
poin penting atau makna di balik tradisi atau budaya harus menjadi pedoman yang
menjadi dasar perubahan.
H. Merevitalisasi
makna belis dalam adat perkawinan di sumba
Budaya
Sumba yang kian hari semakin keluiar dari konteks budaya yang sesungguhnya,
harus dimurnikan kembali. Proses pemurnian ini kembali akan tetap terjadi jika
masyarakat adat sendiri terbuka akan nilai-nilai luhur yang tekandung dalam
belis dan adat perkawinan. Proses pemurnian ini, tentunya melibatkan semua
lapisan masyarakat, termasuk pemerintah.
Pada
proses revitalisasi, pendidikan menjadi salah satu sarana yang berperan sangat
penting, dimana pendidikan bertujuan untuk mencetak manusia dengan sumber daya
yang unggul. Dari sini, maasyarakat akan mampu menjadi masyarakat yang
bijaksana dalam berbudaya tanpa harus melenceng dari makna luhur yang
terkandung dalam budaya itu sendiri. Peran penting pendidikan ini juga
ditegaskan oleh Indah Lestari dalam buku Mozaik Sumba Barat. Terobosan yang
harus ditempuh untuk keluar dari masalah yang sedang melilit nusa cendana ini
adalah melalui pendidikan. Dalam konteks kesetaraan gender, perempuan harus
mampu memiliki sumber daya yang baik, sehingga perempuan mampu mengubah
kualitas hidup mereka.
Revitalisasi
adat perkawinan dimana di dalamnya termasuk pembelisan tidak dimaksudkan untuk
mengubah memurnikan secara utuh adat perkawinan dengan mengikuti prinsip dan seluruh
tatanan adat seperti yang terjadi pada masa awal, tetapi revitalisasi berarti
bahwa budaya dalam hal ini adat perkawinan di sumba tetap disesuaikan dengan
konteks kekinian tetapi tetap berpegang teguh pada makna luhur yang terkandung
didalamnya.
BAB III
METODE
PENELITIAN
A.
Rancangan penelitian
Penelitian ini
menggunakan metode penelitian kualitatif, mengingat bahwa:
a) Penelitian
ini menggunakan metode wawancara dengan para rato dan juru bicara dalam
perkawinan adat yang dianggap tahu betul permasalahan, sebagai narasumber
b) Penelitian
ini juga menggunakan metode komprasi, dengan menyandingkan hasil wawancara
dengan dokumen yang sudah transkip melalui media cetak maupun elektronik, agar
kebenaran kualitatif dapat dipertanggungjawabkan.
c) Peneliti
sebagai instrument kunci yang sedapat mungkin menafsirkan makna dalam setiap
istilah, melalui narasumber yang handal.
d) Pemaparan
dan pembahasan bersifat deskriptif
e) Lebih
mengutamakan proses dari pda hasil
f) Makna
menjadi perhatian utama dalam penelitian ini.
B.
Pendekatan penelitian
Dalam
penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan sosiologis budaya, yang
mengkaji praktek budaya berdasarkan keadaan masyarakat budaya yang mengutamakan
penghayatan dan praktek terhadap interaksi sosial dan nonsosial, dikaitkan
dengan empiris. Dengan pendekatan sosiologi budaya, peneliti dapat menemukan
pemaknaan dan pemahaman terhadap nilai budaya dalam adat perkawinan di Sumba.
Pendekatan
sosiologi budya yaitu pendekatan yang bertolak dari asumsi bahwa budaya merupakan
pencerminan kehidupan masyarakatnya. Karya tulis yang diangkat ke atas
permukaan adalah bersumber dari masyarakat, menjadi sumber inspirasi sekaligus
mampu memberikan pengaruh terhadap masyarakat.
Menurut
antar semi (1990; 73), pendekatan sosiologi memiliki konsepsi dan kriteria
sebagai berikut:
a) Pendekatan
sosiologis pada awal munculnya memandang ritual budaya (termasuk karya sastra)
sebagai cermin sejarah, terutama sejarah perkembangan ekonomi dan teknologi.
b) Analisis
intrinsik, lebih menitikberatkan pada analisis perwatakan tokoh atau pemeran
utama dalam ritual adat.
Pendekatan
sosiologis budaya diterapkan dalam penelitian ini, mengingat sosiologi budaya berurusan
dengan manusia dalam masyarakat.
C.
Instrument penelitian
Instrument
penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan peneliti dalam
mengumpulkan data agar lebih mudah, lebih cermat, lengkap, sistematis, dan
mudah diolah. Penelitian ini berusaha mengungkapkan isi dan makna nilai budaya
dari perkawinan adat di sumba melalui kajian pada adat perkawinan di lamboya
sehingga dapat mengetahui gambaran nilai budaya yang terkandung dalam praksis
budaya tersebut.adapun instrument yang digunakan dalam penelitian ini ialah
mengonstruksi setiap tahapan dalam adat perkawinan di sumba sebagai petunjuk untuk
menjawab permasalahan.
D.
Data dan sumber data
Data
dan sumber data utama penelitian perempuan dan belis di Sumba kajian pada adat
perkawinan di lamboya, diperoleh melalui:
Wawancara, rekaman dari
para narasumber. Para narasumber yang dijadikan sumber untuk pengambilan data
sesuai dengan syarat-syaratnya, yaitu tokoh masyarakat yang berkompeten,
penutur asli bahasa lamboya (para rato) dan bertempat tinggal di lamboya, Sumba
Barat.
E.
Teknik pengumpulan data
Prosedur pengumpulan
data dalam penelitian ini menggunakan:
a) Teknik
wawancara
b) Teknik
perekaman
c) Teknik
Pemotretan
d) Teknik
pencatatan
e) Studi
kepustakaan.
F.
Teknik analisis data
Teknik dalam
menganalisis data yang digunakan adalah metode analisis isi (content analysis).
Teknik ini bertolak dari langkah-langkah yang dikemukakan Endraswara (2003: 30)
sebagai berikut:
a) Memberi
interpretasai melalui menyimak dan membeca ciri-ciri yang berhubungan dengan
adat perkawinan di sumba melalui kajian terhadap adat perkawinan di lamboya
b) Melakukan
analisis terhadap nilai-nilai budaya dalam adat perkawinan di sumba melalui
kajian terhadap adat perkawinan di lamboya
c) Melakukan
deskripsi bagian per bagian dalam penelitian
d) Merumuskan
simpilan umum tentanmhg hasil penelitian decara tertulis yang lengkap
G.
Pemeriksaan keabsahan data
Teknik pemeriksaan
keabsahan data dilakukan dengan memperhatikan tahapan berikut:
a) Pengklarifikasian
atau pengurutan adat perkawinan di sumba khususnya di lamboya
b) Menggunakan
teknik peer debriefing, yaitu pemeriksaan
data, menguji hasil data dengan tokoh masyarakat yang mengerti dan tahu tentang
adat perkawinan, tetapi bukan informan atau narasumber
c) Teknik
member chek dilakukan dengan cara
mengecek kepada informan atau narasumber
d) Teknik
audit trial, dilakuakn dengan
mengecek berbagai jenis data mentah maupun hasil data analisis.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adat perkawinan disumba merupakan salah satu model
perkawinan yang penuh pertimbangan dalam arti bahwa segala sesuatu yang terjadi
mengenai pembelisan, waktu, tempat dan kelanjutan perkawinan haruslah terjadi
melalui proses diskusi atau hanewe. Pandangan
masyarakat tentang tingginya belis di sumba juga pemahaman yang mengangap bahwa
pembelisan merupakan bentuk praktek transaksi jual beli perempuan merupakan
akibat dari pergeseran makna luhur yang terkandung dalam tradisi ini. Belis
yang terlampaui mahal seperti yang banyak menimbulkan kontroversi dalam
masyarakat bukanlah akibat dari budaya itu, tetapi merupakan akibat dari budaya
konsumtif dan juga egoisme masyarkat.
Perempuan dalam adat sumba memiliki posisi yang
sejajar dengan kaum pria bahkan sangat terhormat. Hal ini terbukti bahwa belis
merupakan bentuk penghargaan terhadap derajat dan kehormatan wanita. Namun,
ternyata dalam perjalana waktu makna ini mengalami pergeseran, sehingga hal ini
perlu direvitalisasi dengan peningkatan mutu sumber daya manusia melalui
pendidikan yang berkualitas. Perempuan harus juga mampu memiliki sumbae daya
yang berkualitas, sehingga mampu memperbaiki kualitas hidup dan mengupayakan
terwujudnya kesetaraan gender di tanah marapu ini.
B. Saran
Mengingat bahwa masalah ini merupakan problema
sosio-kultural, maka ii merupakan tanggung jawab seluruh lapisan masyarakat.
Oleh karena itu, semua orang harus ambil bagian dalam menindaklanjuti masalah
ini. Masyarakat adat harus menjadi teladan yang menunjukkan kepada masyarakat
terkait dengan keterbukaan terhadap makna luhur yang terkandung dalam setiap
budaya dan tradisi khususnya dalam adat perkawinan. Pemerintah juga harus
menjadi panutan yang membudaya dalam artian, pemerintah harus menjadi model
uyang mengangkat makna belis sesunngguhnya bukan lagi menjadikan pembelisan
sebagai sarana ujuk diri dan jabatan serta kekayaan. Dan masyarakat herus
terbuka terhadap segala upaya pemurnian ini. Generasi muda juga harus
menanamkan rasa cinta budaya dengan terus belajar tentang nilai-nilai yang
terkandung dalam budaya dan juga upaya melestariakan budaya.
Daftar pustaka
Alwi, Hasan. 2005. Kamus besar bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka
Mahmudi. 20013. Penuntun penulisan
karya ilmiah. Sleman Yogyakarta: Aswaja Pesindo
Beding, Marsel, B. & Beding, Lestari, Indah.
Mozaik Sumba Barat (edisi revisi). Ende: Nusa Indah)
Wawancara dengan narasumber (informan):
a.
Jhon jawu Kabba (juru bicara dalam adat
perkawinan di Lamboya)
b.
Kedu dukka (pewaris rumah besar di salah
satu kampung adat)
c.
Taddu Baro (penutur adat)
d.
Poho Maga (juru bicara dalam adat
perkawinan)
e.
Kedu Pajanging (penutur adat dan juru bicara dalam adat perkawinan)
/div>
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusTetap semangat yah
BalasHapusTerimakasih banyak 🙏🙏🙏🙏
HapusMantap Ama
BalasHapusMakasih 🙏🙏🙏😊
HapusGood
BalasHapus